4 "Budaya adalah cara menghadapi dunia dengan mendefinisikannya secara detail." - Malcolm Bradbury. 5. "Budaya adalah pelebaran pikiran dan jiwa." - Jawaharlal Nehru. 6. "Budaya adalah nama untuk apa yang orang tertarik, pikiran mereka, model mereka, buku yang mereka baca dan pidato yang mereka dengar." - Walter Lipman. 7. NaskahPidato Kebudayaan Indonesia Judul Pidato tentang Kebudayaan Indonesia: Kreativitas dalam Melestarikan Kebudayaan Indonesia Assalamu'alaikum Wr. Wb. . PidatoSukarno di Yogyakarta tentang Trikora. Kaleidoskop Presiden Republik Indonesia-Museum Kepresidenan "Balai Kirti". Pada 1960 terjadi perimbangan kekuatan politik di Indonesia yang penting, yaitu Presiden, tentara dan PKI. Ini bukan tanpa rencana yang matang. Berbagai persoalan nasional perlu didukung kekuatan politik yang kuat dan Darisekian banyak kesenian yang ada di Jogja, kini yang mulai ditinggalkan salah satunya adalah wayang. Seiring berkembangnya teknologi, banyak anak muda terutama Indonesia yang kini tidak mengerti mengenai tokoh-tokoh wayang. Padahal sejatinya wayang merupakan aset budaya nasional yang patut untuk kita lestarikan. Hariini saya akan menyampaikan pidato dengan judul Budaya Literasi Bagi Masa Depan Pendidikan Indonesia. Pentingnya Pendidikan Untuk Masa Depan. Bagi yang sedang mencari referensi mengenai contoh dari teks pidato maka penting untuk membaca penjelasan yang akan ditulis di bawah ini. UndangUndang Republik Indonesia No 5 tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Produk hukum ini berisi IX Bab dan 61 Pasal, ditetapkan tanggal 24 Maret 2017 dan diundangkan 29 Mei 2017 di Jakarta. Produk hukum ini tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 No 104. Penjelasannya tercatat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6055. Read More »UNDANG-UNDANG . Sedikit rasanya orang yang mengetahui jumlah dan nama-nama budaya yang ada di Indonesia, apalagi bagi mereka para remaja dan anak sekolah, hanya sebagian kecil saja yang mereka ketahui dari keanekaragaman budata lokal Indonesia. Nah dengan adanya latar belakang tersebut saya berinisiatif untuk membuat pidato sekaligus mengajak para generasi muda untuk mengingat dan melestarikan budaya tradisional Indonesia. Pada kesempatan ini saya akan memberikan contoh pidato tentang melestarikan budaya bangsa Indonesia. Pidato singkat ini sangat bagus dibacakan untuk kalangan kawula muda. Pidato tentang kebudayaan singkat ini juga bisa adik-adik pelajar gunakan sebagai tugas membuat teks pidato pendidikan tentang budaya bangsa di sekolah. Berikut ini Contoh Pidato Tentang Melestarikan Budaya Bangsa Singkat. Contoh Pidato Tentang Melestarikan Budaya Bangsa Singkat Assalamu'alaikum Wr. Wb. Yang saya hormati Bapak/Ibu guru Yang saya cintai dan saya banggakan teman-temanku Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua Puji syukur kita haturkan kepda aTuhan Yang Maha Esa atas limpaha rahmatNya, sehingga pada siang hari ini kita masih diberikan kesempatan untuk berkumpul bersama di ruangan ini dalam kedaan sehat. Terima kasih saya ucapkan kepada semuanya yang telah memberikan waktu dan kesempatan kepada saya untuk berpidato, pada kesempatan ini saya akan memberikan pidato tentang melestarikan budaya bangsa. Hadirin yang berbahagia Berbicara tentang budaya, negara Indonesia merupakan negara terbanyak yang memiliki budaya tradisional. Dari ratusan suku yang ada di Indonesia hampir semaunya memiliki budaya khas sendiri. Budaya Indonesia memang sangat banyak, namun ada berapakah yang bisa kita sebutkan? mungkin hanya hitungan jari saja, Ironis memang. Namun memang ini sebuah kenyataan yang terjadi pada generasi sekarang. Seakan generasi sekarang sangat tidak peduli dengan budaya bangsa sendiri, malah lebih condong ke budaya barat yang katanya kekinian. Hadirin yang saya hormati Kita ambil contoh, tanggal 2 Oktober 2009 UNESCO telah meresmikan Batik sebagai budaya Indonesia. Tetapi apakah kita ingat? bahwa batik pernah diklaim sebagai budaya asli negara tetangga kita. Tentu kita geram dan heran, mengapa negara tetangga sering mengklaim dan mengakui budaya Indonesia sebagai budaya mereka., seperti Reog Ponorogo, lagu Sayange, Barong Bali, Tari Pedet, Batik, dan masih banyak lagi. Hadirin yang berbhagia Kita terkadang tidak menyadari diri, mengapa budaya kita diklaim oleh mereka? Nah sekarang tanyakan pada diri sendiri. Apakah kita sudah melestarikannya? Apakah kita mengenalnya sebelum diklaim mereka? Kita baru tahu kalau itu budaya kita. Ya, ini efek dari kita tidak peduli terhadap budaya bangsa sendiri. Maka dari itu, kita sebagai generasi penerus bangsa harus sudah sepatutnya melestarikan budaya bangsa dimulai dari cara yang sederhana dalam kehidupan kita sehari-hari. Selengkapnya Contoh Pidato Tentang Melestarikan Budaya Bangsa Singkat Lihat Pidato Lain Indonesia merupakan sebuah negara dengan ragam terbesar, baik alam hingga manusianya. Dalam keragamannya, manusia Indonesia memiliki ciri atau sifat yang melekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mereka. Setidaknya hal tersebut yang hendak di sampaikan Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan yang diadakan di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977 silam. Mochtar Lubis sendiri merupakan seorang wartawan dan pengarang. Ia sempat menjadi bagian dari Persatuan Wartawan Indonesia PWI dan juga anggota International Press Institue. Dirinya juga salah satu pendiri kantor berita Antara. Sejumlah novel karyanya juga pernah diterbitkan dan memperoleh penghargaan. Salah satu novelnya yang terkenal adalah Senja di Djakarta. Mochtar Lubis, seorang jurnalis Indonesia dalam perjalanannya ke Belanda pada 5 April 1979. Wikicommons Dalam pidato kebudayaannya itu, setidaknya terdapat enam ciri manusia Indonesia yang Mochtar Lubis sampaikan. Jakob Oetama, yang juga seorang wartawan senior serta salah pendiri surat kabar harian Kompas mengungkapkan bahwa pidato kebudayaan Manusia Indonesia ini mampu menjadi permulaan kerangka yang berguna untuk membangun kembali manusia Indonesia. Jika dibandingkan dengan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, apakah keenam ciri Manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis masih berlaku? Berikut adalah keenam sifat manusia Indonesia tersebut. 1. Hipokritis dan Munafik Ciri yang satu ini cukup menonjol di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Sistem feodal di masa lalu yang menekan rakyat Indonesia menjadi sumber dari hiprokisi yang dahsyat, baik datang dari urusan keagamaan, sosial, hingga masalah korupsi. Agama datang untuk memperkaya kehidupan jiwa manusia Indonesia, namun tak sepenuhnya mampu dirasakan karena dihantarkan dengan kekerasan, paksaan, hingga persekutuan dengan kekuasaan lain. Begitu pula orang-orang yang menentang korupsi namun turut juga melakukan korupsi. Banyak dari manusia Indonesia yang mengatakan bahwa hukum yang diterapkan dalam negeri ini telah bersikap adil, namun pada kenyataannya pencuri kecil masuk penjara, namun koruptor bebas keluar masuk penjara. Kondisi tersebut tak berubah ketika kita mengingat kasus pencurian bambu yang dilakukan oleh sepasang nenek dan kakek di Gorontalo yang memaksa mereka disidangkan di Pengadilan Negeri Limboto. Kontras dengan pelaku korupsi besar yang beberapa kali lolos dari sidang. 2. Enggan Bertanggungjawab atas Perbuatannya Menurut Mochtar Lubis, kata "Bukan saya" adalah kalimat paling populer di mulut manusia Indonesia. Kesalahan yang dilakukan oleh atasan digeser ke bawahannya, dan terus dilakukan sampai pemegang jabatan paling bawah. Sejumlah kasus korupsi yang terjadi di Indonesia hingga kini dilakukan tak hanya oleh pimpinan, namuna juga merambah ke pekerja bawahan mereka. Dari kasus tersebut, diduga ada sistem bagi hasil dari keuntungan yang didapat dari aksi korupsi mereka. Salah satu kalimat familiar yang ada di tengah masyarakat perkotaan seperti Jakarta, terutama kalangan menengah ke bawah adalah "Saya hanya melaksakan perintah dari atasan." Pernyataan tersebut hingga kini masih melekat pada banyak oknum keamanan untuk sekedar menutupi hati nurani mereka. 3. Jiwa Feodal Salah satu tujuan dari revolusi kemerdekaan Indonesia adalah membebaskan manusianya dari feodalisme. Namun pada kenyataannya, bentuk-bentuk feodalisme baru terus bermunculan hingga kini. Sikap-sikap feodalisme dapat kita lihat dari bagaimana pemerintah kita dalam urusan jabatan, banyak yang masih mengutamakan hubungan atau kedekatan ketimbang kecakapan, pengalaman, maupun pengetahuannya. Jiwa feodal ini tumbuh subur tak hanya di kalangan atas, namun juga bawah. Masalah feodalisme ini tidak lepas dalam kenyataan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia kini. Politik \'bagi kursi\' atau bagi-bagi jabatan yang terjadi dalam kancah politik Indonesia adalah salah satunya. 4. Percaya Takhayul Ciri yang satu ini tak lepas dari kebudayaan dan tradisi bangsa Indonesia. Mereka masih percaya benda-benda disembah untuk memperoleh berkah. Tak jarang nyawa pun dipertaruhkan sebagai bagian dari persembahan. Sampai saat ini pun, kita masih melihat secara nyata bagaimana banyak program televisi yang menayangkan hal-hal berbau magis dan gaib. Nyatanya, hal tersebut masih saja menghibur manusia Indonesia saat ini. Tak hanya tayangan berbau takhayul, pengobatan yang mengandalkan dukun dan sihir pun masih terus dilakukan oleh masyarakat daerah di Indonesia. Kepercayaan itu terus dilakukan meski tak ada penelitian yang mampu membuktikan keabsahannya. Pendidikan menjadi salah satu benteng yang kuat untuk menghalau pemikirian-pemikiran tersebut. Dengan pengetahuan yang memadai, hal tersebut akan mampu lebih dikaji ulang agar mampu diterima secara logika. 5. Artistik Kepercayaan yang menjadi bagian dari budaya manusia Indonesia rupanya membawa mereka tumbuh menjadi manusia yang dekat dengan alam. Hasilnya, manusia Indonesia memiliki daya artistik yang cukup tinggi. Banyak hasil kerajinan masyarakat Indonesia yang diakui dunia. Sebut saja tembaga, batik, tenun, patung kayu dan batu, hingga ukirannya. Mereka adalah bagian dari daya imaginasi yang tumbuh subur di tengah masyarakat Indonesia. Bagi Mochtar Lubis, ciri ini merupakan salah satu yang paling menarik dan memiliki pesonannya sendiri. Ciri ini mampu menjadi tumpuan hari depan manusia Indonesia. 6. Watak yang Lemah Manusia Indonesia memiliki watak yang lemah serta karakter yang kurang kuat. Dalam sejarah Indonesia, Presiden Soekarno adalah sosok yang mampu memberikan contoh dari ciri ini. Terkait masalah inflasi yang pernah menyerang Indonesia, Soekarno pernah mengatakan bahwa inflasi itu baik demi \'revolusi Indonesia\'. Dampaknya, seperti yang banyak diketahui, inflasi di Indonesia mencapai 650 persen dalam setahun setelah ia lengser dari kursi presiden. Kegoyahan watak merupakan akibat dari ciri masyarakat dan manusia feodal juga. Hal tersebut hingga kini masih terus ditemukan dalam manusia Indonesia untuk menyenangkan atasan atau menyelamatkan diri sendiri. Sumber Manusia Indonesia, Mochtar Lubis 1990 PROMOTED CONTENT Video Pilihan Pidato adalah kegiatan seseorang dengan maksud menyampaikan berbagai hal secara lisan kepada orang lain disekitarnya. Dengan harapan orang yang mendengarkan itu mengerti dan memahami apa yang disampikan pada saat itu. Ciri khas pidato yaitu menggunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan apa yang di inginkan jadi tidak mungkin orang seseorang yang tidak cakap. menggunakan bahasa berharap dapat menyampiakan pendapat dan kemauan orang lain untuk cara berpidato. Pidato itu pada dasarnya ucapan yang tersusun dengan baik dn ditunjukkan kepada orang lain atau orang banyak. Pidato dapat dilaksanakan pada upacara bendera, pada pesta keluarga, peringatan hari besar nasional dan keamanan dll..Kumpulan Pidato Lengkapra lisan di depan penonton atau pendengar. Tujuan pidato dapat dibagi menjadi tiga, yaituPidato informatif bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca atau pendengar. Berupa petunjuk tentang sesuatu, pengarahan tentang masalah tertentu, dan penjelasan tentang obyek rekreatif bertujuan untuk menghibur para pendengar. Saat menyampaikan pidato, orator perlu menyelipkan beberapa hiburan, sehingga pidato yang disampaikan dapat pidato persuasif adalah untuk memengaruhi para pendengar. Pada saat menyampaikan informasi, orator perlu memengaruhi atau informasi yang disampaikan dapat diterima dan dilaksanakan oleh pendengar dalam kehidupannya sehari-hari. Sebelum berpidato didepan umum ada hal-hal yang perlu diperhatikan dan siapkan diantaranya adalahS BismillahirrahmaanirrahiimAssalaamu alaikum warrahmatullahi wabarrakaatuhSalam sejahtera untuk kita semuaYang saya hormati,Ketua, Sekretaris, Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada,Ketua, Sekretaris, Anggota Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada,Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada,Rektor, Wakil Rektor Senior, dan Wakil Rektor Universitas Gadjah MadaDekan dan Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah MadaKepala Pusat Studi di Universitas Gadjah MadaTeman Sejawat, Mitra Kerja, Sahabat, Sanak-saudara, dan Hadirin sekalian,Segala puja dan puji dipersembahkan ke Hadirat Allah yang Maha Kuasa, karena atas perkenanNya pagi ini kita dapat berada di ruangan ini dalam keadaan sehat walafiat. Merupakan kehormatan yang sangat besar bagi saya atas kesempatan untuk menyampaikan pidato pengukuhan ini, yang merupakan pertanggungjawaban atas pengangkatan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Farmakologi dan Terapi pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Dengan perkenan hadirin sekalian, judul pidato yang akan saya sampaikan adalahKEARIFAN BUDAYA INDONESIAUNTUK SOLUSI MASALAH GLOBALPENGGUNAAN OBATMasalah ini saya pilih sebagai materi pidato dengan harapan dapat membangkitkan kembali rasa kebangsaan dan nasionalisme kita, di tengah galaunya situasi politik dan ekonomi negara ini. Semoga dapat menjadi stimulus agar kita semua tetap bangga sebagai orang Indonesia dan dengan penuh keyakinan berdiri di forum akan diawali dengan pemaparan masalah global dalam penggunaan obat. Kemudian akan disampaikan berbagai upaya yang telah dilakukan untuk memperbaiki situasi penggunaan obat. Akan dipaparkan bagaimana kearifan budaya Indonesia telah memberikan inspirasi dan membentuk kerangka pengembangan model-model solusi yang diapresiasi dan diadopsi dunia global. Pidato akan saya akhiri dengan butir-butir pemikiran dan harapan untuk memelihara kearifan budaya, agar negara Indonesia makin diminati sebagai sumber belajar yang saya muliakan,Masalah global penggunaan obatPenggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan klinis mereka, dengan dosis dan cara pemberian yang tepat, dan dengan harga yang terjangkau bagi pasien dan masyarakat. Namun data global menunjukkan bahwa situasi tersebut masih belum sepenuhnya tercapai. Di antara berbagai masalah yang dihadapi, yang paling sering dijumpai adalah terhambatnya akses terhadap obat esensial, penggunaan antibiotika yang berlebihan atau tidak sesuai, dan penggunaan injeksi yang akses terhadap obat esensial adalah salah satu hak azasi manusia. Kalimat ini bukanlah retorika semata, namun membawa konsekuensi tanggungjawab yang sangat besar karena pemerintah mempunyai kewajiban menjamin ketersediaan dan keterjangkauannya. Landasannya adalah Universal Declaration of Human Rights UDHR1 Pasal 25, yang berbunyi Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights2 Pasal 12 berbunyi The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health. Commission on Economic, Social and Cultural Rights3 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan the highest attainable standard adalah pelayanan kesehatan yang terbaik dengan obat terbaik, yaitu obat esensial sebagaimana didefinisikan oleh Badan Kesehatan Dunia esensial adalah obat-obat yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan Proses seleksinya harus didasarkan pada hasil penelaahan sistematis dan komprehensif terhadap kemanfaatan dan keamanan, pertimbangan kebutuhan kesehatan masyarakat, ketersediaan produk, dan pertimbangan harga, serta harus melalui proses seleksi yang transparan. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan, obat baru dapat dimasukkan atau menggantikan yang sudah ada di dalam daftar apabila terbukti lebih baik sesuai kriteria seleksi tersebut. WHO menyediakan Model List of Essential Medicines WHO-EML sejak 1977, sebagai acuan negara-negara pada waktu menyusun atau merevisi daftar obat esensial terhadap pentingnya obat esensial sangat menggembirakan. Dalam kurun waktu 3 dekade, 86% negara di dunia telah mempunyai Daftar Obat Esensial Nasional DOEN, termasuk Indonesia. Upaya terus dilakukan oleh semua negara agar obat esensial diutamakan penggunaannya dalam pelayanan kesehatan, baik di pelayanan kesehatan publik maupun swasta. Survei WHO yang dipublikasi tahun 2011 WHO, 2011 telah menunjukkan keberhasilan di sektor publik. Dari 156 negara dengan tingkat pendapatan rendah, sedang, maupun tinggi, hampir semua negara menggunakan obat esensial untuk pengadaan obat publiknya. Sangat menarik bahwa justru semua 100% negara dengan tingkat pendapatan tinggi menggunakan obat esensial untuk pengadaan obat publiknya. Untuk sektor swasta, datanya masih memprihatinkan karena hanya sekitar 13% negara saja yang mengutamakan obat esensial. Beberapa faktor penghambat telah diidentifikasi, misalnya masalah geografi, distribusi, jaminan ketersediaan, jaminan mutu obat, persepsi penyedia pelayanan kesehatan dan masyarakat, serta komitmen penyelenggara pelayanan. Untuk mengatasi dan mengantisipasi hambatan tersebut, diperlukan kerjasama yang baik dari penyedia pelayanan yang saya muliakan,Selain masalah akses obat esensial di pelayanan swasta, dunia juga menghadapi masalah penggunaan antimikroba yang seringkali tidak sesuai dengan kaidah ilmiah. Penggunaan antimikroba secara kurang tepat yang dilakukan di masa lalu dampaknya baru dirasakan bertahun-tahun kemudian, yaitu berkembang pesatnya resistensi kuman terhadap antimikroba andalan maupun antimikroba yang terbaru sekalipun. Berkembang pesatnya resistensi kuman juga secara tidak langsung mengakibatkan lesunya riset pengembangan antimikroba baru karena investasi yang telah ditanam sulit penggunaan obat esensial dan antimikroba, masih banyak lagi masalah terkait penggunaan obat, seperti penggunaan kortikosteroid pada anak yang berlebihan, penggunaan psikotropika yang berlebihan, swamedikasi dengan antimikroba, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut dapat terjadi di mana saja, baik di negara dengan tingkat pendapatan rendah, sedang, ataupun tinggi. Karena latar belakang masalah yang berbeda-beda, upaya pengatasan masalah seyogyanya juga perlu disesuaikan dengan situasi penggunaan obat di IndonesiaHadirin yang saya muliakan,Dibandingkan dengan tahun 1990an, situasi penggunaan obat di Indonesia sudah berangsur membaik, utamanya di sektor pelayanan publik. Data nasional yang dikompilasi dari berbagai laporan menunjukkan prosentase pasien yang menerima antibiotika di Puskesmas berangsur menurun dari 88% di tahun 19875 menjadi sekitar 50% di tahun 1997, 1998, 1999, 2002,6 dan sekitar 50% di tahun Demikian pula, prosentase pasien yang menerima injeksi telah berhasil dikendalikan, dari 74% di tahun 1987 turun drastic menjadi 4-11%,6 dan kemudian bertahan sekitar 3% di tahun Persentase penggunaan obat esensial selalu baik, yaitu berkisar antara 93-100%.6,7 Perubahan di sektor swasta tidak dapat dilihat secara jelas karena terbatasnya data yang komprehensif, namun dari berbagai laporan dapat ditunjukkan bahwa mutu penggunaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan swasta masih perlu ditingkatkan. Persentase penggunaan obat esensial hanya sekitar 34-49%. Penggunaan obat non-esensial ini ikut memberikan kontribusi terhadap besarnya biaya obat, yaitu sekitar 3-5 kali lebih banyak daripada yang upaya meningkatkan mutu penggunaan obat, kita perlu bersikap kritis. Namun demikian, diperlukan juga kearifan untuk tidak serta merta menyalahkan penyedia pelayanan kesehatan yang menggunakan obat secara kurang tepat. Kita perlu memahami bahwa ada berbagai situasi dan kondisi yang mempengaruhi keputusan penggunaan obat. Kadang-kadang pengetahuan dan keyakinan penyedia pelayanan bukanlah faktor yang dominan. Dalam banyak situasi, faktor-faktor lain dapat sangat berperan, misalnya karena mengikuti permintaan pasien, memenuhi target pelayanan yang ditetapkan institusi, tidak tersedianya pedoman pengobatan terkini, terpengaruh promosi obat, ada kesenjangan informasi, beban tugas yang menyita waktu, atau tidak tersedianya obat kata lain, ada tiga aspek yang perlu kita cermati, yakni dari aspek penyedia pelayanan, aspek pasien, dan aspek lingkungan kerja. Tanpa memahami faktor mana yang dominan, agak sulit bagi kita untuk melakukan upaya perbaikan secara tepat sasaran, nyaman bagi target, dan dalam suasana yang konsep budaya Indonesia dalam jejaring internasional penggunaan obat rasionalHadirin yang saya muliakan,International Network for Rational Use of Drugs INRUD – Jejaring internasional untuk penggunaan obat rasional dibentuk dan dilahirkan di Indonesia oleh pemikir Indonesia8 bersama dengan mitra internasional mereka. Konsep upaya perbaikan penggunaan obat yang mereka bentangkan sangat sarat dengan budaya Indonesia yang menekankan musyawarah dan mufakat, dengan menekankan pentingnya pemahaman terlebih dahulu faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah sebelum melakukan suatu upaya atau tindakan pengatasan masalah. Dengan demikian, upaya perbaikan atau intervensi yang dilakukan secara berhati-hati tersebut akan lebih tepat pada sasaran, dan strategi yang dipilih dapat disesuaikan dengan pokok permasalahan dan faktor penyebabnya INRUD, 1990.Secara ringkas, konsep upaya perbaikan penggunaan obat yang dirancang oleh INRUD ini terdiri atas empat tahap kegiatan yang berlangsung terus menerus, membentuk siklus yang berkesinambungan. Tahap pertama adalah Pemeriksaan, tahap kedua adalah Diagnosis, tahap ketiga adalah Tindakan perbaikan, dan tahap keempat adalah Evaluasi hasil tindakan. Apabila tindakan perbaikan tidak memberikan hasil yang memuaskan, perlu dikaji kembali apakah ada kekurangan dalam tahap Diagnosis atau tahap Tindakan. Konsep INRUD ini kini telah digunakan di seluruh dunia dan sangat mempermudah upaya-upaya peningkatan mutu penggunaan yang saya muliakan,Perlu digarisbawahi bahwa inspirasi budaya Indonesia sangat kental mewarnai pengembangan teknik-teknik pengukuran perilaku yang digunakan dalam tahap Diagnosis. Telah kita ketahui bersama, sikap segan dan tidak tega berterus terang Jw sungkan, rikuh-pakewuh untuk menyampaikan hal yang sebenarnya adalah suatu kebiasaan yang telah melekat pada diri kita, dan merupakan ciri khas budaya kita. Memahami hal tersebut, tahap Diagnosis ini dipersiapkan sebagai proses untuk memahami mengapa seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu. Teknik penggalian informasinya tentu saja harus dengan cara yang baik, nyaman, sopan, serta jauh dari cara-cara interogatif apalagi tahun 1990, seorang pakar ilmu perilaku Indonesia memimpin suatu tim kecil INRUD yang berasal dari berbagai negara9 untuk mengadaptasi, mengujicoba, dan membuat pedoman teknik wawancara, observasi, diskusi kelompok kecil, dan kunjungan simulasi untuk kebutuhan diagnosis tersebut. Walaupun teknik-teknik kualitatif ini sudah lama dikenal, namun pedoman yang dikembangkan oleh kelompok ini sangat khas karena memasukkan berbagai aspek psikologi, sosial, dan antropologi kedalam instrumennya. Pada waktu pedoman ini diuji coba di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul dengan koordinasi oleh Kepala Dinas Kesehatan setempat,10 dengan mudahnya teknik ini diadopsi dan dinikmati oleh fasilitator maupun para penyedia pelayanan kesehatan yang menjadi target kegiatan, karena dirasakan sebagai teknik yang memanusiakan manusia Jw nguwongke.Konsep budaya Indonesia dalam model peningkatan mutu penggunaan obatDiyakini banyak hasil karya anak bangsa yang telah berhasil mendunia karena kekhasannya dari Indonesia. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para Sejawat tersebut, berikut ini dipaparkan tiga model upaya perbaikan mutu penggunaan obat yang dikembangkan di Indonesia dan kemudian berhasil menarik perhatian dunia, diadopsi oleh banyak negara dan digunakan dalam program nasional Cara Belajar Ibu Aktif, Community-Based Interactive ApproachCBIA adalah nama yang diberikan pada suatu metode pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan dan diujicoba pada tahun 1993. Metode ini bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat menelaah informasi secara kritis dan mandiri dalam mencari informasi obat, sehingga swamedikasi menjadi lebih aman dan efisien. Kekhasan metode ini adalah dengan memanfaatkan paguyuban yang begitu banyak di masyarakat Indonesia, sehingga di mana saja kita bisa menemukan kelompok arisan, perkumpulan keagamaan, kelompok PKK, Dharmawanita, karang taruna, remaja masjid, dan bahkan kelompok ronda. Forum-forum sosial semacam ini bisa menjadi media yang sangat bagus untuk melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan CBIA diujicoba kemanfaatannya dengan bekerjasama dengan Dharmawanita Dinas Purbakala Jawa Tengah di Prambanan. Desain penelitian adalah randomized controlled trial, dibandingkan dengan seminar konvensional dan tanpa perlakuan. Hasil uji coba menunjukkan bahwa CBIA efektif meningkatkan kemampuan responden memilih obat, dan membuat belanja obat lebih efisien. Skor pengetahuan kelompok CBIA meningkat dari 4,9+0,3 menjadi 8,3+0,2 P<0,001, skor maksimum 10, sedangkan pada kelompok Seminar meningkat dari 4,5+0,6 menjadi 6,4+0,3 P<0,05. Jumlah nama dagang obat yang dikonsumsi keluarga dalam satu bulan menurun drastis pada kelompok CBIA dari 5,3+0,3 menjadi 1,5+0,3, P<0,001, sedangkan di kelompok Seminar relatif tidak terjadi penurunan. Kelompok yang tidak menerima CBIA maupun Seminar tidak menunjukkan perubahan dalam skor pengetahuan maupun belanja obat. Hasil ujicoba ini menunjukkan bahwa CBIA tidak hanya meningkatkan pengetahuan, namun juga mengubah perilaku belanja obat secara lebih selektif dengan mempertimbangkan bahan ternyata kemudian sangat diminati dan digunakan dalam berbagai kegiatan pengabdian masyarakat baik di instansi pemerintah maupun non-pemerintah. Dari umpan balik yang diterima, ternyata CBIA juga dapat digunakan untuk semua kalangan, berbagai tingkat pendidikan, usia, gender, maupun latar belakang sosial ekonomi. Jadi tidak sebatas di kalangan ibu-ibu saja. Karena fleksibilitas tersebut, maka Yayasan Kanker Indonesia Cabang Yogyakarta kemudian menyarankan agar kepanjangan CBIA diganti menjadi Cara Belajar Insan CBIA menarik perhatian internasional sehingga WHO meminta pengalaman implementasi CBIA tersebut ditulis dalam bulletin WHO Essential Drugs Monitor Suryawati, 2003. Sebagai dampak dari publikasi ini, banyak negara yang berminat menggunakan CBIA dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Di Mongolia, CBIA digunakan dalam program pemberdayaan masyarakat berbasis rumahsakit di semua rumah sakit rujukan di 15 provinsi. CBIA juga dikembangkan sebagai program pendidikan anak sekolah, dan diformalkan dalam bentuk kerjasama antara kementrian kesehatan dan kementrian pendidikan Mongolia. Di Filipina, CBIA digunakan dalam penguatan masyarakat untuk meningkatkan penggunaan obat generik dalam program Botica ng Barangai. Suatu lembaga swadaya masyarakat di Davao, Filipina Selatan mengusulkan agar kepanjangan CBIA dibuat bahasa Inggrisnya, yaitu Community-Based Interactive Approach. Dalam program nasional pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan penggunaan obat rasional, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia juga menggunakan metode ini Direktorat Bina POR, 2008, sehingga kini CBIA menjadi agenda pemerintah daerah di 33 propinsi. Pengalaman dalam proses implementasi CBIA ini dikompilasi dalam bentuk buku CBIA a Community-Based Interactive Approach towards safe, effective, and less-costly self-medication Suryawati, 2010.Dalam perjalanannya, CBIA juga menginspirasi banyak Sejawat mengadaptasi metode tersebut untuk berbagai tujuan lain, misalnya untuk meningkatkan ketaatan pasien terhadap pengobatan tuberkulosis paru Susantini, 2006, meningkatkan ketaatan penyandang diabetes mellitus terhadap program pengobatan Hartayu dkk, 2011, meningkatkan ketrampilan memilih obat flu bagi ibu hamil Hidayati dkk., 2011, dan meningkatkan pemahaman risiko swamedikasi dengan antibiotika Rossetyowati, 2012.IGD Interactional Group DiscussionInteractional Group Discussion, disingkat IGD, dikembangkan pada tahun 1992 dan dipublikasikan di jurnal internasional terkemuka Hadiyono dkk., 1996. Konsepnya adalah mengembangkan suatu forum diskusi yang melibatkan kelompok yang telah diketahui berbeda pendapat, agar kelompok tersebut kemudian saling berargumentasi untuk mencari kebenaran informasi dan selanjutnya membuat konsensus untuk upaya perbaikan. Ide IGD ini pada waktu itu disangsikan keberhasilannya oleh para pakar perilaku internasional, karena dianggap tidak lazim dan nabrak pakem teori intervensi untuk perubahan perilaku, yang beranggapan bahwa kelompok yang berbeda pendapat tidak boleh waktu diujicoba, ternyata kekhawatiran itu tidak terbukti. Para responden yang terdiri atas dokter, perawat, bidan, juru suntik, dan kelompok masyarakat justru sangat antusias mengikuti diskusi. Di antara peserta diskusi banyak saling melakukan koreksi dalam suasana nyaman, santai, dan cenderung ger-geran. Suasana seperti ini tidak mungkin terjadi kalau konsep metodenya nabrak pakem. Kita semua sangat faham bahwa musyawarah dan mufakat, ana rembug dirembug adalah prinsip budaya Indonesia yang secara tak terasa sudah melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Untuk hal-hal yang kontroversial sekalipun, ternyata kita dapat mendiskusikannya dengan uji coba menunjukkan bahwa di 12 Puskesmas yang mengikuti IGD, prosentase pasien yang menerima injeksi berkurang drastis dari sekitar 69,5% menjadi 42,3% hanya dalam waktu tiga bulan. Penurunan ini berbeda bermakna dibandingkan dengan penurunan yang ditunjukkan 12 Puskesmas yang tidak menjalani IGD, yaitu dari 75,6% menjadi 67,1%. Penurunan jumlah rata-rata obat perpasien memperkuat hasil ujicoba, bahwa injeksi yang tidak diberikan tersebut tidak diganti dengan obat studi ini menarik minat para pakar internasional sehingga diminta untuk dipublikasi dalam jurnal terkemuka Social Science in Medicine Hadiyono dkk, 1996. Publikasi penelitian ini mendapat sambutan yang hangat, karena sasaran uji coba adalah penggunaan injeksi yang berlebihan, yang pada saat itu merupakan masalah penggunaan obat paling serius karena penyebaran penyakit hepatitis dan HIV. Hasil penelitian juga membawa harapan baru bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan, bahwa ternyata penggunaan injeksi dapat diturunkan, sesuatu yang selama ini dirasakan mustahil. Dalam waktu singkat, publikasi tersebut menjadi artikel terbanyak yang disitir di lingkungan jejaring internasional penggunaan obat rasional. Pemerintah Indonesia juga sangat cepat menangkap peluang upaya perbaikan ini, sehingga dalam waktu singkat penggunaan injeksi yang tak diperlukan menurun drastis di semua Puskesmas di Kabupaten Gunungkidul, manfaat IGD dalam menurunkan penggunaan injeksi kemudian ditindaklanjuti oleh Dinas Kesehatan setempat sehingga dalam waktu dua tahun penggunaan injeksi yang berlebihan berhasil dikurangi. Pengalaman ini dipublikasi di jurnal WHO, dan terkenal dengan sebutan The Gunungkidul Experience Sunartono & Darminto, 1995. Data yang disajikan dalam artikel tersebut menunjukkan bahwa setelah hasil IGD disosialisasikan, semua Puskesmas sepakat menurunkan injeksi yang tidak diperlukan, dan berhasil menurunkan lebih lanjut menjadi sekitar 20% dalam kurun waktu dua keberhasilan tersebut, Safe Injection Global Network SIGN, suatu konsorsium internasional untuk mengurangi penggunaan injeksi yang berlebihan, mengadopsi teknik IGD untuk program-programnya di berbagai negara di Asia dan yang saya muliakan,MTP Monitoring-Training-PlanningMonitoring-Training-Planning adalah suatu model diskusi terstruktur yang dikembangkan untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat di instutusi pelayanan kesehatan. Idenya berasal dari metode pembelajaran orang dewasa adult learning yang digunakan oleh Management Sciences for Health dalam program perbaikan manajemen obat di Bangladesh. MTP yang dikembangkan di Universitas Gadjah Mada ini konsepnya dimodifikasi dengan memasukkan filosofi Jawa. Yaitu bahwa setiap upaya perbaikan perlu selalu mempertimbangkan bagaimana yang betul, bagaimana yang nyaman, dan bagaimana yang baik Jw kepiye benere, kepiye penake, kepiye apike.Interpretasi dari filosofi ini adalah sebagai berikut. Setiap upaya penyelesaian masalah perlu dilandasi dengan pertimbangan ilmiah kepiye benere, dengan memahami interaksi sosial di antara penyedia pelayanan kesehatan dan pasien kepiye penake, dan dapat difasilitasi dalam sistem manajerial institusi pelayanan kesehatan kepiye apike. Artinya dalam mencari solusi untuk mengatasi masalah penggunaan obat perlu dipertimbangkan berbagai faktor penyebab yang berasal dari ketiga aspek tersebut, yaitu aspek penyedia pelayanan kesehatan, pasien, dan lingkungan kerja institusi MTP dapat menjadi pilihan untuk mengisi pertemuan rutin di institusi pelayanan kesehatan. Komponen diskusinya terdiri atas tiga tahap yaitu tahap Monitoring M, tahap Training T, dan tahap Planning P. Tahap M adalah diskusi tentang seberapa besar masalah yang dihadapi, dengan menggunakan indikator penggunaan obat. Tahap T adalah diskusi untuk memahami mengapa terjadi masalah dan bagaimana sebaiknya cara mengatasinya secara bersama, sedangkan tahap P adalah pembahasan rencana langkah perbaikan, siapa yang melakukan, dan menentukan target perbaikan. Lama diskusi perlu dibatasi tidak lebih dari dua jam agar pelayanan tidak terganggu. Pada pertemuan rutin berikutnya, hasil pemantauan dipresentasikan M, kemudian dibahas T, dan direncanakan eksekusinya P. Demikian seterusnya sehingga kegiatannya menyerupai alur spiral. Dalam kurun waktu 3-4 pertemuan rutin, masalah diharapkan sudah dapat diujicoba dengan bekerjasama dengan rumahsakit pemerintah dan swasta di Yogyakarta dan Semarang. Hasil ujicoba dipresentasikan dalam konferensi internasional Farmakologi Klinik di Florence Suryawati dkk., 2000, dan menarik perhatian forum. Beberapa negara seperti Lao dan Cambodia langsung menyatakan minat untuk mengimplementasikan MTP dalam program nasional mereka. Pengalaman implementasi kedua negara tersebut dipresentasikan dalam Konferensi Internasional ICIUM tahun 2004 di Chiangmai Srun, 2004; Sisounthone, 2004, dan menyedot perhatian peserta konferensi. Konsep MTP didiskusikan secara intensif, dan disepakati sebagai salah satu strategi pilihan yang direkomendasikan oleh konferensi tersebut untuk meningkatkan mutu penggunaan perjalanan selanjutnya, MTP kemudian digunakan oleh Mongolia Ministry of Health of Mongolia, 2008, PR China INRUD/China/Zhuhai, 2007, dan Bangladesh Chowdhury dkk, 2007 dalam program nasional peningkatan mutu penggunaan obat di rumahsakit rujukan. Implementasi MTP di negara-negara tersebut dapat terlaksana karena difasilitasi oleh pemerintah negara yang bersangkutan, World Health Organization, dan para donor internasional. Pengalaman implementasi MTP di berbagai negara ini telah dipublikasi oleh mitra kerja, dan proses implementasinya dikompilasi dalam buku berjudul MTP Quality improvement management cycle for better medicine use in hospital Suryawati, 2009.Kearifan budaya Indonesia modal kuat untuk go internationalHadirin yang saya muliakan,Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya adalah hasil pikiran atau akal budi, juga berarti adat istiadat, atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sulit diubah. Arif adalah bijaksana, cerdik, pandai, berilmu. Arif juga berarti paham atau mengerti. Dengan demikian, kearifan budaya Indonesia adalah kebiasaan-kebiasaan baik kita, untuk memahami dan mengerti berbagai fenomena, kejadian, atau masalah dalam kehidupan, sehingga kita dapat melihat segala sesuatunya dari berbagai aspek, tidak subjektif, dan juga tidak menghakimi. Kebiasaan baik itu membuat kita lebih mudah memetakan suatu masalah, memahami mengapa terjadi masalah, agar kemudian dapat mengupayakan solusinya secara berhati-hati, selektif dan fokus pada sumber permasalahan. Sudut pandang seperti itu ternyata merupakan modal kuat dalam kiprah kita di dunia global. Pengenalan konsep-konsep budaya Indonesia dalam diskusi dan sumbang saran di forum internasional menunjukkan ciri khas kita sebagai orang Indonesia. Dari pemaparan sebelumnya, kearifan tersebut ternyata dapat menginspirasi munculnya solusi untuk berbagai masalah penggunaan obat di skala lain masih banyak tersedia. Munawaroh Munawaroh dkk., 2001 dalam studinya untuk meningkatkan kerasionalan penggunaan obat pada pasien anak menempatkan penyedia kesehatan yang paling disegani di posisi narasumber, hasilnya sangat baik walaupun penyedia senior tidak selalu mendukung. Keputusan ini sangat dimotivasi oleh adat Jawa nglungguhake wong atuwa. Dengan sendirinya seseorang yang ditempatkan di posisi tinggi akan lebih berhati-hati menentukan sikap karena ke bidang lain, kita mengetahui bahwa walikota Solo mendapat penghargaan sebagai walikota terbaik. Salah satu penyebabnya adalah dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan menggunakan pemahamannya terhadap adat istiadat dan budaya masyarakat. Dari Jogjakarta, kita belajar dari proses pembangunan jalan layang Pengok yang tanpa ribut-ribut, karena Kepala Dinas Pekerjaan Umum pada saat itu menggunakan cara-cara pendekatan yang sesuai dengan adat kebiasaan setempat, termasuk untuk memahami mengapa pemilik lahan yang telah sepakat secara administratif tidak segera pindah dari lokasi. Ternyata penyebabnya sangat sederhan. Warga mempunyai cara penilaian yang berbeda. Mereka belum melihat tumpukan material dan pekerja, suatu petanda yang mereka pahami sebagai kegiatan pembangunan jalan layang. Jadi, model-model penggusuran penduduk dan pedagang yang kurang manusiawi memang seharusnya dihindari. Menggunakan cara-cara atau pendekatan yang sejalan dengan nafas kehidupan dan budaya masyarakat setempat tentu lebih mudah yang saya muliakan,Dengan contoh-contoh model pendekatan yang telah dipaparkan di atas, saya ingin menyampaikan bahwa konsep-konsep kearifan budaya Indonesia perlu kita perhatikan kembali, kita hidupkan kembali, kita lestarikan terus, agar kita mampu berkiprah di dunia global sebagai bangsa Indonesia. Jangan sampai kita pergi ke luar negeri untuk mempelajari budaya Indonesia dan kemudian mengimportnya ke Indonesia. Jangan sampai mahasiswa Indonesia kuliah di luar negeri untuk belajar The Gunungkidul Experience. Contoh-contoh yang saya paparkan dalam pidato ini agak terbatas pada budaya Jawa, lingkungan yang melahirkan dan menumbuhkan saya. Namun saya yakin sangat banyak contoh-contoh lain yang dapat kita gali dari budaya-budaya di Indonesia. Marilah kita menjadi pejuang bagi negeri tercinta ini. Pejuang bukan hanya seseorang yang berjasa membawa sesuatu kepada kita, tetapi juga seseorang yang dapat menyadarkan kita bahwa kita mempunyai budaya yang membanggakan. Pengalaman yang telah dipaparkan di depan menunjukkan bahwa minat masyarakat global sangat besar untuk belajar dan mengadopsi metode-metode yang kita kembangkan, sejauh kita mampu meramu dalam format ilmiah yang logis. Saya meyakini bahwa Indonesia sangat pantas menjadi sumber belajar kesempatan ini saya ingin mengajak generasi muda, adik-adikku, anak-anakku yang saat ini sedang mencari jatidiri, berusaha dengan penuh semangat memperoleh posisi nyaman dalam pergaulan nasional maupun internasional. Jati itu ternyata adanya di dalam diri kita sendiri. Jadilah orang Indonesia dengan segala ciri khas budayanya, dan bersikaplah orisinil. Yang orisinil ternyata jauh lebih menarik daripada yang polesan. Sebelum berangkat ke luar negeri, sebaiknya dipahami terlebih dahulu kearifan budaya dan hasil-hasil karya anak bangsa, agar kita makin berbangga dan dengan penuh percaya diri memposisikan diri di percaturan terimakasihHadirin yang sangat saya muliakan,Di penghujung pidato ini, perkenankanlah saya mengucap terimakasih kepada para sahabat yang telah bekerja dalam suka dan duka selama lebih dari 25 tahun, yaitu dr. Rustamaji, Ibu Tina Fariana, SE, Bp Supono, dan Bp Slamet Haryono, juga kepada senior-senior saya di Farklin dr. Budiono Santoso, PhD dan dr. H. Sulanto Saleh-Danu, Kepada para sahabat yang telah berjuang bersama-sama di bidang kebijakan dan manajemen obat, baik di PSFKKO, MKO, maupun di Divisi Kebijakan Obat, saya mengucapkan terimakasih. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sejawat di Bagian Farmakologi dan Terapi FK-UGM, dan kepada Prof. Dr. Rianto Setiabudi SpFK dan Prof. Dr. MT Kamaluddin SpFK yang telah merekomendasikan pengangkatan gurubesar saya. Kepada para senior di IKAFI saya mengucapkan terima para pinisepuh, sesepuh, pembimbing tesis, guru, dan senior saya, utamanya yang telah berkenan hadir dalam rapat terbuka ini, terimakasih atas semua keteladanan, bimbingan, dan pembelajaran yang telah diberikan. Bp Adjum beserta teman-teman sangat saya hargai untuk dedikasinya yang tanpa putus memperlancar kenaikan pangkat kita yang saya muliakan,Perkenankanlah saya memanjatkan doa bagi para mentor yang telah mendahului kita. Alm. Prof Ahmad Muhammad Djojosugito dan almh. Prof Sumiati Ahmad, pendiri Komisi Penelitian FK-UGM, menjadi pemicu semangat saya sebagai dosen muda sewaktu tahun 1986 memilih artikel saya sebagai publikasi terbaik. Almarhum Prof. Sardjoko dan Prof. Moh Makin Ibnu Hadjar sebagai promotor S3 selalu mendorong saya untuk mempresentasikan setiap potong hasil penelitian saya. Beliau meyakini proses pematangan emosi seorang kandidat doktor bukanlah di laboratorium, namun di forum-forum ilmiah internasional. Alm. Dr. Imono Argo Donatus adalah sahabat saya, kami bersama-sama mencari jatidiri, bersama-sama menempuh program doktor, sepakat menunda keinginan jadi professor, dan kemudian sepakat merevisi keinginan itu beberapa tahun kemudian. Namun Tuhan lebih sayang kepada almarhum. Dalam ketenangannya di alam sana, saya dapat merasakan dia tertawa riang dengan gayanya yang yang saya peroleh di ruang-ruang kuliah jelas tidak cukup untuk menjalani kehidupan nyata. Justru dari para mitra kerja, melalui interaksi positif selama ini saya memperoleh pengayaan untuk mengamalkan ilmu. Pengetahuan tanpa disertai pengembangan emosi juga akan sulit diaplikasikan. Saya juga bersyukur selalu berada di lingkungan yang suportif, terutama dari sahabat di Angkatan 1970 SMA Negeri I Teladan Yogyakarta dan Angkatan 1973 Fakultas Farmasi keluarga sangat bermakna. Anak-anak saya Aditya+Amy, Bagus+Siska, Nia dan Eka, terima kasih atas kebersamaan dalam suka dan duka. Sungkem untuk Ibunda Hj. Sri Sundari dan alm. Ayahanda R. Suyud Pringgodiharjo, sebagai kepanjangan tangan Allah swt untuk mengarahkan jalan hidup saya. Almh. Dr. Hj. Kusumastuti dan dr. H. Bambang Suryatmojo, dengan kedua beliau ini saya sering mendiskusikan berbagai pilihan untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya. Adik-adik, pakde, bude, paklik, bulik, dan saudaraku sekalian, terimakasih atas pemikiran untuk pidato ini kami diskusikan dengan dr. Rustamaji, dan dr. Setyo Purwono, Terimakasih kepada Prof. dr Ngatidjan, MSc., Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, PhD., Prof. Dr. Dra. Mae Sri Hartati Apt., Prof. Johana Prawitasari PhD, dan Ibunda Hj. Sri Sundari yang telah memberikan masukan bermakna terhadap manuskrip pidato yang sangat saya muliakan,Di akhir kata, sekiranya ada tutur kata yang kurang berkenan di hati, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih atas kesabarannya mendengarkan pidato ini. Semoga kita semua selalu dalam tuntunan dan petunjuk Allah alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Banyak sekali Contoh pidato yang tersedia disini dari Contoh pidato bahasa jawa, Contoh Pidato Bahasa Sunda, contoh pidato bahasa inggris singkat, contoh pidato bahasa inggris tentang pendidikan,contoh pidato bahasa inggris tentang covid-19, pidato bahasa inggris tentang akhlak, contoh pidato bahasa inggris singkat tentang islam, pidato bahasa inggris singkat tentang pendidikan, contoh pidato bahasa inggris tentang lingkungan, contoh pidato bahasa inggris tentang menjadi diri sendiri, contoh pidato bahasa jawa tentang pendidikan, contoh pidato bahasa jawa tentang covid-19, contoh pidato bahasa jawa tentang perpisahan, contoh pidato bahasa jawa tentang menuntut ilmu, contoh pidato bahasa jawa tentang kesehatan, pidato bahasa jawa tengah, pidato bahasa jawa krama, pidato bahasa jawa singkat tentang kebersihan . "Tiadakah engkau lihat bagaimana Allah menciptakan metafora tentang 'kalimat yang baik' sebagaimana 'pohon yang baik', akarnya kuat terhunjam dan cabangnya ke langit menjulang. Pohon itu menghasilkan buahnya setiap saat, atas izin Tuhannya. Dan Allah mencipta metafora bagi manusia, supaya mereka ingat selalu. Juga, tentang metafora 'kalimat yang buruk' seperti 'pohon yang buruk', yang tercerabut dari akar bumi, jadilah ia tanpa kekuatan." [ Ibrahim 24-26] Salah satu tema marjinal dalam kajian Islam dewasa ini adalah soal eksistensi dan transformasi budaya lokal. Padahal, kalau kita benar-benar memercayai bahwa untuk membangun keindonesiaan yang kokoh, antara lain, mesti dilakukan dengan mencintai dan mengembangkan sikap kreatif terhadap pluralitas, maka lokalitas merupakan titik pijak yang tidak bisa ditinggalkan. Jauh lebih penting lagi untuk kita sadari adalah, bahwa ribuan kultur lokal yang hidup di tiap jengkal pulau-pulau pembentuk Indonesia bukanlah semata-mata warna-warni dan tetek bengek yang eksotik. Melainkan juga wilayah belajar dan sekaligus modal sosio-kultural dasar kebangsaan kita. Karena, di dalam apa yang kita sebut dengan kultur lokal itu seringkali tersimpan pengalaman, jejak-jejak kreatifitas dan pencapaian-pencapaian tertentu dari para jenius lokal dalam mengembangkan pandangan hidup, tata berpikir dan juga sistem sosial tertentu. Di dalam kultur lokal, kita selalu dapat belajar secara kritis tentang pergulatan menata sistem kepemilikan dan pemanfaatan tanah, distribusi kekayaan, pelestarian lingkungan, pengelolaan cita rasa, penyeimbangan hubungan sosial bahkan bagaimana berdialog terhadap teknik-teknik, pemikiran-pemikiran dan agama-agama lain yang masuk ke dalam wilayahnya. Tentu saja, melalui semua itu, dengan segala kebijakan maupun kezalimannya, keberhasilan maupun kegagalannya, kita dapat belajar membangun hidup kita sendiri di masa depan. Dalam konteks ini, fakta tentang stigmatisasi dan marginalisasi komunitas “Islam lokal” di hampir seluruh wilayah Nusantara pada sejak paruh akhir tahun 60-an hingga sekarang, menyentuh kesadaran dan keprihatinan kita tentang pengalaman “bunuh diri sosio kultural” yang dilakukan oleh bangsa kita sendiri. Bagaimana kita, sebagai bangsa, antara sadar dan tidak, telah menghancurkan akar dan modal sosio-kultural kita sendiri, berupa komunitas-komunitas Islam lokal yang merupakan kekayaan bangsa kita dan telah beberapa abad berhasil membangun sistem sosio-kultural yang menjadi penyangga bagi keberlangsungan hidup berbagai komunitas. Dan celakanya, pada titik inilah, antara lain, terletak akar dari krisis kebangsaan dan keagamaan kita dewasa ini, yang ditandai dengan merebaknya berbagai konflik antaretnik, konflik antaragama, konflik pusat dan daerah, bahkan tuntutan pemisahan dari NKRI. Persoalan yang terjadi di Aceh dan Papua, misalnya, tidak dapat dijelaskan semata-mata sebagai konflik daerah dan pusat di dalam negara Republik Indonesia dalam pengertian ekonomis dan politis, melainkan juga telah menjadi konflik identitas secara sosial dan kultural. Seolah “Sumpah Pemuda” yang menandai Kebangkitan Nasional Indonesia awal abad XX lalu telah memudar "daya sihirnya". Demikianlah, tidak mengherankan, kalau dalam diskusi-diskusi mutakhir untuk mengatasi krisis multidimensi yang dirasakan seluruh elemen bangsa Indonesia dewasa ini berujung pada satu muara, yaitu tidak adanya filsafat dan sistem sosio-kultural milik kita sendiri yang bisa kita jadikan pijakan untuk mengatasi krisis. Baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, moralitas dan kebudayaan pada umumnya. Dengan kata lain, sebagai bangsa kita mengalami “kebangkrutan” menyeluruh. ***** Mari kita mengambil cermin. Ada sebuah statemen krusial yang dinisbatkan kepada Sahabat Umar bin Khattab, panglima perang dan Amirul Mukminin yang membawa Islam hingga ke luar Arab, dan juga dikenal sebagai perintis “rasionalisme” dalam pembentukan rancang bangun fiqih Islam, bahwa al-Arab maaddatul Islam. Barangkali karena pretensi untuk menunjukkan watak universal dari Islam, Dr. Taha Husain di dalam kitabnya al-Fitnatul Kubro menafsirkan ucapan Umar tersebut dengan menyebutkan bahwa maksud "maaddah” adalah mashdaru quwwatitil askariyyah, Arab adalah sumber kekuatan militer Islam”. Namun seperti ditunjukkan oleh Khalil Abdul Karim di dalam kitab al-Judzurut Tarikhiyyah lisy Syari'atil Islamiyyah, tafsiran Taha Husain di atas terlihat hanya melihat satu aspek secara sempit dengan mengabaikan banyak aspek lain yang jauh lebih luas. Islam jelas berhutang banyak hal pada bangsa Arab, tidak hanya karena keterlibatan putra-putra pemberani dari suku-suku bangsa Arab dalam melancarkan ekspedisi-ekspedisi hingga Islam menyebar hingga ke kawasan Persia, Afrika, Eropa dan Asia. Namun juga dari kenyataan bahwa Sang Pembawa Risalah Islam adalah Nabi berbangsa Arab, Ka'bah yang menjadi kiblat kaum Muslimin berada di Mekkah, sebuah kota Arab, serta kitab suci Al-Qur'an adalah kitab berbahasa Arab. Bahkan lebih dalam dan luas lagi Khalil Abdul Karim mendedahkan bahwa kultur Arab merupakan sumber dari banyak hukum, kaidah, sistem, kebiasaan dan tradisi yang dibawa dan dilegislasi oleh Islam baik yang termuat di dalam Al-Qur'an maupun produk dari ijtihad para sahabat dan ulama. Seperti pensucian Ka'bah dan kota Mekkah, manasik haji dan umroh, pengagungan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail, pensucian bulan Ramadlan, menghormati nasab, sistem sewa-menyewa, sistem khumus dalam pembagian harta rampasan perang, sistem hudud hukuman untuk pezina, peminum khamr dan pencuri, sistem khilafah, sistem syuro dan lain sebagainya. Sehingga, sangat meyakinkan ketika Khalil mempostulatkan bahwa “al-Islam waratsa minal arab as-syai' al-wafir bal al-baligh al-wafrah fi kaaffat al-manahi at-ta'abbudiyah wa al-ijtima'iyah wa al-iqtishadiyah wa as-siyasah wa al-khuluqiyah wa al-lisaniyyah, Islam telah mewarisi dari bangsa Arab secara melimpah dalam keseluruhan matranya tata peribadatan, tata sosial, ekonomi, politik, moralitas, bahasa dan seterusnya. Jadi, menurut Khalil, maaddah dalam statemen Umar bin Khattab di atas berarti al-ashlu wa al-ma'din wa al-qiwam, Arab adalah akar, kandungan dan penyangga Islam.” Lalu, apakah dengan demikian Islam adalah “agama Arab”? Sebuah “agama lokal”? Pertanyaan-pertanyaan sejenis ini bisa menjebak kita ke dalam dualisme dan antagonisme antara yang lokal dan yang universal. Dikotomi-antagonistik inilah yang pada akhir dasawarsa 60-an di atas terbukti tidak produktif, bahkan dapat menjadi energi penghancur. Deskripsi dan rekonstruksi historis Khalil Abdul Karim yang memang seringkali sangat provokatif itu, menurut saya, mesti dipahami dari konteks dan proporsi titik berangkatnya, yaitu melawan kabut-kabut ilusi waham yang sering ditebarkan oleh para apolog du'at Islam, yaitu bahwa Islam digambarkan sebagai sesuatu yang “datang dari langit” dan diturunkan untuk menghancurkan bangunan religio-sosio-kultural yang disebut “jahiliyyah” dan menggantinya dengan tatanan yang baru sama sekali. Dengan kata lain, yang mau dilawan oleh rekonstruksi Khalil adalah suatu sikap a historis dan cara pandang esensialis. Dalam hal ini, metafora Al-Qur'an tentang “zaman jahiliyyah” dan “zaman kegelapan” seringkali berdiubah menjadi mekanisme di dalam pikiran yang bekerja menghilangkan fakta-fakta tentang adanya sistem religio-sosio-kultural yang hidup dan menentukan di kalangan masyarakat Arab pra kenabian Muhammad SAW, selama masa kenabian, bahkan tetap berdipertahankan hingga masa khulafaurrasyidun. Bahkan diabadikan dalam korpus-korpus fiqih, tafsir, akhlaq, teologi hingga ke masa sekarang dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Tidak sekedar menghilangkan fakta-fakta historis zaman jahiliyyah, cara berpikir seperti ini bahkan juga menempelkan stigma serba buruk, serba bodoh dan serba gelap terhadap zaman jahiliyyah untuk suatu pretensi “pemurnian” dan “idealisasi” sedemikian rupa terhadap syari'at dan bangunan doktrin keislaman. Di tangan orang yang salah, cara pikir seperti ini bisa berubah menjadi keyakinan buta dan menjadi alat untuk menghancurkan setiap ajaran atau pemikiran atau bangunan sosio-kultural yang dianggap “tidak murni” Islam. Dengan demikian, deskripsi dan rekonstruksi historis yang membuktikan bahwa kultur “jahiliyyah” Arab di masa kenabian Muhammad SAW turut mempengaruhi dan membentuk apa yang kita sebut sebagai syari'at Islam, tidaklah kemudian mesti berdiubah pada titik ekstrim yang lain menjadi suatu postulat atau definisi a priori bahwa “Islam adalah agama Arab”, atau “Islam adalah agama lokal dan karena itu tidak punya relevansi universal”. Bukan semata karena hal ini tidak sejalan dengan banyak kenyataan tekstual yang terkenal seperti wa ma arsalnaka illa rahmatan lil 'alamin, la syarqiyyah wa la gharbiyyah dan bainal masyriq wal maghrib. Melainkan postulat di atas tidak menjelaskan kenyataan historis bahwa banyak suku-suku bangsa di luar Arab di Afrika, Persia, Asia maupun Eropa yang bisa menjadi pemeluk teguh Islam tanpa kehilangan identitas kebangsaannya. Dan bahkan mereka merasa memiliki Islam jauh melebihi kepemilikan orang Arab sendiri terhadap Islam. Terbukti, banyak ulama dan sarjana pembangun ilmu-ilmu keislaman ternama, padahal mereka bukanlah orang-orang berkebangsaan Arab. Imam al-Bukhari, misalnya, justeru dikukuhkan kebangsaannya yang bukan Arab karena keahliannya di dalam ilmu hadis. Kota kelahirannya Bukhara menjadi terkenal ke seluruh penjuru dunia dan abadi karena dilekatkan kepadanya sebagai penulis kitab hadis Nabi yang diakui otoritasnya. Bukankah kita tidak bisa menyebut Imam Bukhari sebagai “korban” Arabisasi atau orang yang terArabkan atau perekayasa kearaban? Demikian pula, apakah kita bisa mengatakan bahwa bermilyar-milyar manusia yang menjalankan puasa di bulan Ramadlan atau berhaji dan umrah ke Mekkah tiap tahunnya adalah orang-orang yang terarabkan, “korban” Arabisasi? Tentu saja tidak. Ada getar religiusitas yang universal di situ. Oleh karena itu, marilah kita mengambil jalan lain, keluar dari dikotomi-antagonistik antara yang lokal dan universal yang jelas tidak produktif itu mutual exclusion. Karena kenyataannya, tidak ada sesuatu yang benar-benar bisa didefinisikan sebagai “lokal” tanpa ada di dalamnya jejak-jejak dan benih-benih universalisme. Sebagaimana juga tidak ada sesuatu bentuk yang bisa disebut “universal” yang murni terbebas dari asal-usul dan unsur-unsur pembentuk lokal. Pengelolaan lokalitas yang baik, menurut saya, diukur dari keberhasilannya menyentuh universalisme. Dan universalisme yang baik justeru diukur dari keberhasilannya mengatasi keterasingan individu dari lokalitasnya. Bukankah dari statemen Umar bin Khattab di atas “al-Arab maaddatul Islam”, kita tidak hanya bisa berdebat tentang arti “maaddatul Islam”, melainkan juga bisa bertanya tentang “al-Arab” itu sendiri? Misalnya, "ma huwal Arab, apa kearaban itu?" Adakah yang bisa disebut sebagai Arab murni dan ma maaddatul Arab, bahan dasar apa yang membentuk kearaban itu? Kalau seandainya orang-orang Arab bangga sebagai anak cucu dan penerus kultural dari Nabi Ismail dan Ibrahim, bukankah Ibrahim adalah seorang “penjelajah” dunia? Bukankah Ibrahim konon berasal dari negeri UR di wilayah Persia? Kemudian ia hijrah ke Palestina, lalu ke Mesir, lalu kembali ke Palestina lagi. Kemudian Ibrahim ke Mekkah untuk “menghantarkan” Ismail dan ibunya Siti Hajar, lalu kembali lagi ke Palestina dan kelak kembali ke Mekkah untuk “menengok” anaknya Ismail tetapi tidak menetap di sana, dan entah ke mana lagi? Bukankah pada setiap tempat yang disinggahinya, Nabi Ibrahim selalu meletakkan dasar-dasar “ketauhidan/keislaman” yang menjadi pengikat dan pembentuk solidaritas masyarakat setempat, sehingga Ibrahim AS dijuluki “Bapak Bangsa-bangsa” jauh sebelum berdirinya “Persatuan Bangsa-Bangsa” pada abad XX? Bukankah Hajar, Ibunda dari Ismail AS diriwayatkan sejarah berasal dari Mesir? Dan seterusnya. Kenyataan-kenyataan di atas menunjuk pada kemustahilan esensialisme dan betapa dialektisnya hubungan antara yang lokal dan universal. Karena ternyata kearaban pun merupakan bentukan dari persilangan berbagai peradaban besar dunia pada zamannya, seperti Summeria, Sassani, Byzantium dan sebagainya. Demikian pula dengan ungkapan Khalil Abdul Karim bahwa “al-Islam waratsa minal arab as-syai' al-wafir bal al-baligh al-wafrah fi kaaffat al-manahi at-ta'abbudiyah wa al-ijtima'iyah wa al-iqtishadiyah wa as-siyasah wa al-khuluqiyah wa al-lisaniyyah. Kita bisa menggarisbawahi huruf 'min' dalam frase “waratsa min al-arab” di situ, karena huruf 'min' menunjukkan arti sebagian atau bahwa Arab bukanlah satu-satunya unsur. Karena sebagaimana disepakati banyak sarjana bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat unsur-unsur bentukan dari bahasa-bahasa non-Arab. Seandainya warisan Arab tetap mau kita tegaskan di sini, karena memang sangat dominan, maka kita bisa “membatasinya” bahwa itu terjadi pada salah satu fase sejarah Islam tertentu yaitu masa kenabian Muhammad SAW sampai dengan empat orang penggantinya al-khulafa ar-rasyidun. Karena, sebagaimana kita tahu dari sejarah, sejak kekhalifahan Islam pindah ke Damaskus pada zaman Dinasti Umayyah, proses perkawinan sosio-kultural pun tak terhindarkan lagi, di mana secara sosio-kultural, terutama dari segi sistem administrasi pemerintahan, Islam banyak mengadopsi model kerajaan-kerajaan Romawi. ***** Untuk keluar dari dikotomi lokal-universal, mungkin kita bisa meminjam konsep modal sosial dan kultural. Seandainya rekonstruksi historis yang dilakukan oleh Khalil Abdul Karim mendekati kesaksian Umar bin Khattab RA bahwa “al-Arab maaddat al-Islam, wa maaddat as-syai' ashluhu wa ma'dinuhu wa qiwamuhu” Kultur Arab adalah akar, kandungan dan penyangga agama Islam, sementara kesaksian Umar mendekati praktek Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya, maka di hadapan kita terbuka suatu wilayah tafsir baru terhadap pengalaman Islam di masa Nabi. Bukankah dengan demikian terbuka kemungkinan tafsir, bahwa inti pengalaman Islam adalah, antara lain, pengalaman etis-religius dalam mengumpulkan, mengelola dan mengembangkan modal sosio-kultural sendiri. Bukan malah meninggalkan atau menghancurkannya, lalu mengimpor atau berhutang pada modal sosio-kultural asing. Demikian pula halnya dengan sebutan “jahiliyyah” kepada masyarakat Arab waktu itu, bukankah ini berkaitan dengan ketidakberdayaan etis-religius mereka untuk membentuk, mengelola dan mengembangkan modal sosio-kultural mereka sendiri. Surplus ekonomi mereka sebagai dampak berkembangnya jalur-jalur perdagangan baru telah merusakkan bangunan moral mereka, antara lain sifat karim suka berderma, yang menyebabkan rentannya bangunan sosial mereka terhadap pertikaian dan berujung pada kemustahilan mereka membentuk kedaulatan bersama sebagai bangsa. Sehingga Nabi SAW bersabda “Bu'itstu li utammima makarimal akhlaq” Aku diutus untuk menyempurnakan moralitas. Dan ayat Al-Qur'an yang saya sebutkan di dalam pembuka tulisan ini di atas, bisa dibaca sebagai jangkar imajinasi sosial yang memberikan kerangka dan arahan strategi kebudayaan bagi upaya mengatasi silang-sengkarut dan saling tabrak antar berbagai sumberdaya sosio-kultural yang ada. Dalam ayat tersebut, “Kalimat yang Baik” yaitu kesaksian “La ilaha illa Allah” yang meliputi penghayatan individu maupun proses sosial, diibaratkan seperti “Pohon yang Baik”. Artinya berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk terus hidup-dinamis-produktif, yaitu yang “Akarnya menghunjam di Bumi” artinya secara individu berakar pada penelusuran ke dalam diri sendiri yang paling dalam dan secara sosial berakar pada pembentukan modal sosio-kultural sendiri yang paling kuat. Sementara “Ranting Pohon itu menjulang ke Langit” artinya, secara individu proses penghayatan sampai kepada puncak tertinggi yakni kebebasan dari rasa takut dan secara sosial proses pengelolaan sumberdaya sosio-kultural sampai kepada puncak tertinggi yakni kedaulatan bangsa. “Pohon itu berbuah setiap saat, atas izin Tuhannya” artinya, proses pencapaian kebebasan individu dan kedaulatan bangsa tersebut tidak pernah berhenti, berlangsung terus menerus, dan senantiasa memberi inspirasi kepada individu-individu maupun bangsa-bangsa lainnya untuk menapaki jalan yang sama. Kemudian sebaliknya, metafor bagi “Kalimat yang Buruk” seperti “Pohon yang Buruk” “Tercerabut dari Akar-Bumi” dan akibatnya “Tidak punya Kekuatan" ***** Demikianlah, kalau pengalaman Nabi Muhammad SAW berkaitan dengan pembentukan, pengelolaan serta pengembangan modal sosio-kultural bangsa Arab. Maka kalau kita menelusuri kisah-kisah para wali dalam mengembangkan agama Islam di pelbagai pelosok Nusantara kita, walau samar-samar akan didapati suatu pola yang agak simetris dengan pola kenabian, al-ulama waratsatul anbiya'. Dakwah yang mereka kembangkan membantu para kawula hamba untuk menemukan identitas mereka sebagai diri-pribadi, walau belum penuh namun mereka sampai kepada sebutan “rakyat” ra'iyyah, dan secara sosial dakwah para wali membantu suatu komunitas untuk tumbuh berdasarkan akar lokalnya masing-masing sehingga kita dapati identitas-identitas seperti Tolotang, Kajang, Bissu di Sulsel, Sasak di NTB, Kejawen di Jawa, Sunda Wiwitan di Pasundan dan sebagainya. Masing-masing identitas ini saling berkait untuk menopang dan mewarnai suatu peradaban di atasnya lagi, yaitu Nusantara. Namun, dari sejarah kita tahu bahwa, bangunan sosio-kultural tersebut belum sampai kepada puncaknya, ketika jaringan ekonomi yang menjadi basis dari bangunan sosio-kultural itu sedikit demi sedikit dikalahkan oleh kapal-kapal dagang dari bangsa-bangsa Eropa yang berdatangan mulai abad XVI. Mulailah era yang kelak akan kita sebut sebagai kolonialisme-imperialisme, yang pada akhirnya tidak hanya merebut jaringan ekonomi namun juga menghancurkan bangunan sosio-kultural yang ada. Begitulah, walaupun ketika masa-masa perang kemerdekaan dasawarsa 40-an kita masih melihat energi dari bangunan sosio-kultural yang ada melalui kekuatan kata-kata “rakyat” yang terus bergaung dan terekam ke dalam lagu-lagu kebangsaan dan dokumen-dokumen resmi kenegaraan ketika “kemerdekaan” diproklamasikan, namun pada saat bersamaan kita juga menyaksikan bahwa perjalanan bangsa Indonesia tidak mengarah menjadi “Pohon yang Baik”. Polemik Kebudayaan yang berkobar tahun 1930-an menunjukkan dengan baik kepada kita bahwa pada saat itu sebagai bangsa kita benar-benar di dalam kebingungan menentukan arah. Sebagian ingin meninggalkan total “masa lalu” dan menjiplak total peradaban Barat-Eropa sebagai bangsa yang maju dan menang. Sementara sebagian yang lain ingin berpijak pada “masa lalu”, kebudayaan sendiri, tetapi pada saat bersamaan kehilangan deskripsi historis terhadap “masa lalu” dan wujud kebudayaan bangsa sendiri. Dua pilihan yang sama-sama tidak mengarah pada tumbuhnya “Pohon yang Baik”. Akibatnya, kita terus bertikai secara destruktif hampir dalam semua sektor kehidupan dan tragedi tahun 65 menandai satu puncaknya yang paling memilukan. Bahkan sampai sekarang! ***** Bagaimana kita sekarang ini mesti melakukan rekonstruksi pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia dalam konteks seperti di atas? Mampukah gerakan Islam kontemporer menyumbangkan sesuatu yang kreatif untuk membantu pemulihan krisis kebangsaan? Inikah akhir zaman budaya kita? Saya yakin kita mampu, dan menyambut makna “akhir zaman” sebagai titik balik peradaban dari gerak destruktif menuju gerak konstruktif-kreatif. Dan dengan demikian, kita bisa menyambut makna “kiamat” yang hakiki sebagai “tegaknya kebenaran”, kembalinya segala sesuatu yang “maya” pada yang “Nyata”. Wallahu a’lam bis shawab.

pidato tentang kebudayaan di indonesia